Jumat, 21 Desember 2012

Kisah Abu Bakar Ash Shiddiq (2)

Abu Bakar Ash Shiddiq lahir di Mekah dari keturunan Bani Tamim (Attamimi), sub-suku bangsa Quraisy ( Beberapa sejarawan Islam mencatat ia adalah seorang pedagang, hakim dengan kedudukan tinggi, seorang yang terpelajar, serta dipercaya sebagai orang yang bisa menafsirkan mimpi) pada 572 - wafat: 23 Agustus 634/21 Jumadil Akhir 13 H,beliau termasuk di antara mereka yang paling awal memeluk Islam. Setelah Rasulullah SAW wafat, Abu Bakar menjadi kalifaf Islam yang pertama pada tahun 632 hingga tahun 634 M. Lahir dengan nama Abdullah bin Abi Quhafah, ia adalah satu di antara empat khalifah yang diberi gelar Khulafaur Rasyidin atau khalifah yang diberi petunjuk.

Abu Bakar Ash-Shidiq Nama lengkapnya adalah 'Abd Allah ibn 'Utsman bin Amir bi Amru bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim bin Murrah bin Ka'ab bin Lu'ay bin Ghalib bin Fihr al-Quraishi at-Tamimi'. Bertemu nasabnya dengan nabi SAW pada kakeknya Murrah bin Ka'ab bin Lu'ai. Dan ibu dari abu Bakar adalah Ummu al-Khair salma binti Shakhr bin Amir bin Ka'ab bin Sa'ad bin Taim yang berarti ayah dan ibunya sama-sama dari kabilah bani Taim

Abu Bakar adalah ayah dari Aisyah, istri Rasulullah SAW. Nama yang sebenarnya adalah Abdul Ka'bah (artinya 'hamba Ka'bah'), yang kemudian diubah oleh Rasulullah SAW menjadi Abdullah (artinya 'hamba Allah'). Rasulullah SAW memberinya gelar Ash-Shiddiq (artinya 'yang berkata benar') setelah Abu Bakar membenarkan peristiwa Isra Miraj yang diceritakan oleh Rasulullah SAW kepada para pengikutnya, sehingga ia lebih dikenal dengan nama "Abu Bakar ash-Shiddiq"

Kisah ketika beliau anak-anak, masih muda dan sikap beliau tentang kisah isra dapat  dibaca disini

 Usaha mencegah gangguan Quraisy

 Kalaupun buku-buku sejarah dan mereka yang menulis biografi Abu Bakar tidak menyebutkan usahanya, apa yang disebutkan itu  sudah memadai juga. Tetapi sungguhpun begitu dalam hati saya  terbayang jelas segala perhatiannya itu, serta hubungannya yang  terus-menerus dengan Hamzah, dengan Umar, dengan Usman serta  dengan pemukapemuka Muslimin yang lain untuk melindungi  golongan lemah yang sudah masuk Islam dari gangguan Quraisy.  Bahkan saya membayangkan hubungannya dulu dengan kalangan luar  Islam, dengan mereka yang tetap berpegang pada kepercayaan mereka,  tetapi berpendapat bahwa Quraisy tidak berhak memusuhi orang yang  tidak sejalan dengan kepercayaan mereka dalam menyembah  berhala-berhala itu.
Dalam sejarah hidup Rasulullah kita sudah melihat, di antara mereka banyak juga yang membela kaum Muslimin dari gangguan  Quraisy itu. Juga kita melihat mereka yang telah bertindak  membatalkan piagam pemboikotan tatkala orang-orang Quraisy sepakat  hendak memboikot Rasulullah SAW dan sahabat-sahabatnya serta  memblokade mereka selama tiga tahun terus-menerus di celah-celah  gunung di pinggiran kota Mekah, supaya tak dapat berhubungan dan  berbicara dengan orang di luar selain pada bulan-bulan suci. Saya  yakin, bahwa Abu Bakar, dalam menggerakkan  mereka yang bukan   pengikut-pengikut agama Rasulullah SAW, namun turut marah melihat tindakan-tindakan Quraisy terhadapnya itu, punya pengaruh besar, karena sifatnya yang lemah lembut, tutur katanya yang ramah serta pergaulannya yang menarik. Tindakan Abu  Bakar dalam melindungi kaum Muslimin ketika agama ini baru  tumbuh,  itu pula yang menyebabkan Rasulullah SAW lebih dekat kepadanya.  Inilah yang telah mempertalikan kedua orang itu dengan  tali persaudaraan dalam iman, sehingga Rasulullah SAW memilihnya  sebagai  teman dekatnya (khalilnya).
Setelah dengan izin Allah agama ini mendapat kemenangan  dengan kekuatan penduduk Yasrib (Medinah) sesudah kedua ikrar  Aqabah, Rasulullah SAW pun mengizinkan sahabat-sahabatnya hijrah ke  kota itu. Sama halnya dengan sebelum itu, ia mengizinkan  sahabat-sahabatnya hijrah ke Abisinia. Orang-orang Quraisy tidak tahu,  Rasulullah SAW ikut hijrah atau tetap tinggal di Mekah seperti tatkala  kaum Muslimin dulu hijrah ke Abisinia.
Tahukah Abu Bakar maksud Rasulullah SAW, yang oleh Quraisy tidak diketahui? Segala yang disebutkan mengenai ini hanyalah, bahwa  Abu Bakar meminta izin kepada Rasulullah SAW akan pergi hijrah, dan  dijawab: "Jangan tergesa-gesa, kalau-kalau Allah nanti memberikan  seorang teman kepadamu." Dan tidak lebih dari itu.

Bersiap-siap, kemudian hijrah

 Di sini dimulai lagi sebuah lembaran baru, lembaran iman yang begitu kuat kepada Allah dan kepada Rasulullah. Abu Bakar sudah  mengetahui benar, bahwa sejak kaum Muslimin hijrah ke Yasrib,  pihak  Quraisy memaksa mereka yang dapat dikembalikan ke Mekah  harus dikembalikan, dipaksa meninggalkan agama itu. Kemudian  mereka disiksa, dianiaya. Juga ia mengetahui, bahwa orang-orang  musyrik itu berkumpul di DarunNadwah, berkomplot hendak  membunuh Rasulullah SAW. Kalau ia menemani Rasulullah SAW dalam  hijrahnya itu lalu Quraisy bertindak membunuh Rasulullah SAW, tidak  bisa tidak Abu Bakar juga pasti dibunuhnya. Sungguhpun begitu,  ketika ia oleh Rasulullah SAW diminta menunda, ia pun tidak ragu.  Bahkan ia merasa sangat gembira, dan yakin benar ia bahwa kalau ia  hijrah bersama Rasulullah, Allah akan memberikan pahala dan ini  suatu kebanggaan yang tiada taranya. Kalau sampai ia mati terbunuh  bersama dia, itu adalah mati syahid yang akan mendapat surga.
Sejak itu Abu Bakar sudah menyiapkan dua ekor unta sambil  menunggu perkembangan lebih lanjut bersama kawannya itu. Sementara sore itu ia di rumah tiba-tiba datang Rasulullah SAW  seperti biasa tiap sore. Ia memberitahukan bahwa Allah telah  mengizinkan ia hijrah ke Yasrib. Abu Bakar menyampaikan keinginannya kepada Rasulullah sekiranya dapat menemaninya dalam hijrahnya itu; dan permintaannya itu pun dikabulkan.
Khawatir Rasulullah SAW akan melarikan diri sesudah kembali ke rumahnya, pemuda-pemuda Quraisy segera mengepungnya.  Rasulullah SAW membisikkan kepada Ali bin Abi Talib supaya ia  mengenakan mantel Hadramautnya yang hijau dan berbaring di tempat  tidurnya. Hal itu dilakukan oleh Ali. Lewat tengah malam, dengan  tidak setahu pemudapemuda Quraisy ia keluar pergi ke rumah Abu  Bakar. Ternyata Abu Bakar memang sedang jaga menunggunya. Kedua  orang itu kemudian keluar dari celah pintu belakang dan bertolak ke  arah selatan menuju Gua Saur. Di dalam gua itulah mereka bersembunyi. Pemuda-pemuda Quraisy itu segera bergegas ke setiap lembah  dan gunung mencari Rasulullah SAW untuk dibunuh. Sampai di Gua Saur salah seorang dari mereka naik ke atas gua  itu kalau-kalau dapat menemukan jejaknya. Saat itu Abu Bakar sudah  mandi keringat ketika terdengar suara mereka memanggil-manggil. Ia  menahan nafas, tidak bergerak dan hanya menyerahkan nasib kepada  Allah. Tetapi Rasulullah SAW masih tetap berzikir dan berdoa kepada  Allah. Abu Bakar makin merapatkan diri ke dekat kawannya itu, dan  Rasulullah SAW berbisik di telinganya:
"Jangan bersedih hati. Tuhan bersama kita."
Pemuda-pemuda Quraisy itu melihat ke sekeliling gua dan yang  dilihatnya hanya laba-laba yang sedang menganyam sarangnya di mulut gua itu. la kembali ke tempat teman-temannya dan mereka bertanya kenapa ia tidak masuk. "Ada laba-laba di tempat itu, yang memang sudah ada sejak sebelum Rasulullah SAW lahir." Dengan perasaan  dongkol pemuda-pemuda itu pergi meninggalkan tempat tersebut.  Setelah mereka menjauh Rasulullah SAW berseru: "Alhamdulillah, Allahu  Akbar!" Apa yang disaksikan Abu Bakar itu sungguh makin  menambah  kekuatan imannya.


Apa penyebab ketakutan Abu Bakar ketlka dalam gua?

 Adakah rasa takut pada Abu Bakar itu sampai ia bermandi  keringat dan merapatkan diri kepada Rasulullah karena ia sangat  mendambakan kehidupan dunia, takut nasibnya ditimpa bencana? Atau  karena ia tidak memikirkan dirinya lagi tapi yang dipikirkannya hanya  Rasulullah dan jika mungkin ia akan mengorbankan diri demi  Rasulullah? Bersumber dari Hasan bin Abil-Hasan al-Basri, Ibn  Hisyam  menuturkan: "Ketika malam itu Rasulullah Sallallahu  'alaihi  wasallam dan Abu Bakar memasuki gua, Abu Bakar  radiallahu   'anhu  masuk lebih dulu  sebelum Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam sambil meraba-raba gua itu untuk mengetahui kalau-kalau di tempat itu ada binatang buas atau  ular.  Ia mau melindungi Rasulullah Sallallahu 'alaihi wasallam dengan  dirinya."
Begitu juga sikapnya ketika dalam keadaan begitu genting demikian terdengar suara pemuda-pemuda Quraisy, ia berbisik di telinga Nabi: "Kalau saja mereka ada yang menjenguk ke bawah, pasti  mereka melihat kita." Pikirannya bukan apa yang akan menimpa  dirinya, tetapi yang dipikirkannya Rasulullah dan perkembangan  agama,  yang untuk itu ia berdakwah atas perintah Allah, kalau  sampai  pemuda-pemuda itu berhasil membunuhnya. Bahkan barangkali  pada saat itu tiada lain yang dipikirkannya, seperti seorang ibu yang  khawatir akan keselamatan anaknya. Ia gemetar ketakutan, ia gelisah.  Tak lagi ia dapat berpikir. Bila ada bahaya mengancam, ia akan terjun  melemparkan diri ke dalam bahaya itu, sebab ia ingin melindungi  atau  mati demi anaknya itu. Ataukah Abu Bakar memang lebih gelisah  dari ibu itu, lebih menganggap enteng segala bahaya yang datang,  karena imannya kepada Allah dan kepada Rasulullah memang sudah  lebih kuat dari cintanya kepada kehidupan dunia, dari naluri seorang  ibu dan dari segala yang dapat dirasakan oleh perasaan kita dan apa  yang terlintas dalam pikiran kita?! Coba kita bayangkan, betapa iman  itu menjelma di depannya, dalam diri Rasulullah, dan dengan itu  segala makna yang kudus menjelma pula dalam bentuk kekudusan dan  kerohaniannya yang agung dan cemerlang!
Saat ini saya membayangkan Abu Bakar sedang duduk dan  Rasulullah di sampingnya. Juga saya membayangkan bahaya yang  sedang mengancam kedua orang  itu.  Imajinasi  saya tak dapat  membantu  mengugkapkan segala yang terkandung dalam lukisan  hidup yang luar biasa ini, tak ada bandingannya dalam bentuk yang  bagaimanapun.

Apa artinya pengorbanan raja-raja dan para pemimpin  dibandingkan dengan pengorbanan Rasulullah
 
Sejarah menceritakan kepada kita kisah orang-orang yang telah  mengorbankan diri demi seorang pemimpin atau raja. Dan pada  zaman kita ini pun banyak pemimpin yang dikultuskan orang. Mereka  lebih dicintai daripada diri mereka sendiri. Tetapi keadaan Abu Bakar  dalam gua jauh berbeda. Para pakar psikologi perlu sekali membuat  analisis yang cermat tentang dia, dan yang benar-benar dapat  melukiskan keadaannya itu. Apa artinya keyakinan orang kepada  seorang pemimpin dan raja dibandingkan dengan keyakinan Abu Bakar  kepada Rasulullah yang telah menjadi pilihan Allah dan  mewahyukannya dengan agama yang benar!? Dan apa pula artinya  pengorbanan orang untuk pemimpin-pemimpin dan raja-raja itu dibandingkan dengan apa yang  berkecamuk dalam pikiran Abu Bakar saat itu, yang begitu khawatir  terjadi bahaya menimpa keselamatan Rasulullah. Lebih-lebih lagi jika  tak sampai dapat menolak bahaya itu. Inilah keagungan yang sungguh  cemerlang, yang rasanya sudah tak mungkin dapat dilukiskan lagi.  Itulah sebabnya penulis-penulis biografi tak ada yang menyinggung  soal ini.
Setelah putus asa mereka mencari dua orang itu, keduanya  keluar dari tempat persembunyian  dan  meneruskan perjalanan.  Dalam   perjalanan itu pun bahaya yang mereka hadapi tidak kurang pula  dari bahaya yang mengancam mereka selama di dalam gua.
Abu Bakar masih dapat membawa sisa laba perdagangannya sebanyak lima ribu dirham. Setiba di Medinah dan orang menyambut  Rasulullah begitu meriah, Abu Bakar memulai hidupnya di kota itu  seperti halnya dengan  kaum Muhajirin  yang  lain,  meskipun   kedudukannya tetap di samping Rasulullah, kedudukan sebagai  khalil,   sebagai  asSiddlq dan sebagai menteri penasehat.

Abu Bakar di Madinah

 Abu Bakar tinggal di Sunh di pinggiran kota Medinah, pada keluarga Kharijah bin Zaid dari Banu al-Haris dari suku Khazraj.  Ketika Nabi mempersaudarakan orang-orang Muhajirin dan Ansar Abu  Bakar dipersaudarakan dengan Kharijah. Abu Bakar kemudian disusul  oleh keluarganya dan anaknya yang tinggal di Mekah. la mengurus  keperluan hidup mereka. Keluarganya mengerjakan pertanian — seperti  juga keluarga Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Talib — di tanah  orang-orang Ansar bersama-sama dengan pemiliknya. Bolehjadi  Kharijah bin Zaid ini salah seorang pemiliknya. Hubungan orang ini  lambat laun makin dekat dengan Abu Bakar. Abu Bakar Nikah dengan  putrinya — Habibah — dan dari perNikahan ini kemudian lahir Umm Kulsum, yang ditinggalkan wafat oleh Abu Bakar ketika ia sedang dalam  kandungan  Habibah. Keluarga Abu Bakar tidak tinggal bersamanya di rumah Kharijah bin Zaid di Sunh, tetapi Umm Ruman dan putrinya Aisyah serta keluarga Abu Bakar yang lain tinggal di Medinah, di sebuah rumah  berdekatan dengan rumah Abu Ayyub al-Ansari, tempat Nabi tinggal.  Ia mundarmandir ke tempat mereka, tetapi lebih banyak di tinggal  di  Sunh, tempat istrinya yang baru.

Tak lama tinggal di Medinah ia mendapat serangan demam, yang juga banyak menyerang penduduk Mekah yang baru hijrah ke  Medinah, disebabkan oleh perbedaan iklim udara tempat kelahiran  mereka dengan udara tempat tinggal yang sekarang. Udara Mekah adalah udara  Sahara, kering, sedang udara Medinah lembab, karena cukup air dan  pepohonan. Menurut sumber dari Aisyah disebutkan bahwa demam  yang menimpa ayahnya cukup berat, sehingga ia mengigau. Setelah puas dengan tempat tinggal yang baru ini, dan setelah  bekerja keras sehingga keluarganya sudah tidak memerlukan lagi  bantuan Ansar, seluruh perhatiannya sekarang dicurahkan untuk  membantu Rasulullah dalam memperkuat Muslimin, tak peduli  betapa  beratnya pekerjaan itu dan besarnya pengorbanan.

Kemarahan Abu Bakar

 Orang  yang begitu damai  dan tenang ini tak pernah  mengenal marah, kecuali ketika melihat musuh-musuh dakwah yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan kaum Munafik itu mulai berolok-olok dan  main tipu muslihat. Rasulullah dan kaum Muslimin dengan pihak  Yahudi sudah membuat perjanjian, masing-masing menjamin  kebebasan  menjalankan dakwah agamanya serta bebas melaksanakan  upacara-upacara keagamaannya masing-masing. Orang-orang Yahudi  itu pada mulanya mengira bahwa mereka mampu mengambil  keuntungan dari kaum Muslimin yang datang dari Mekah dalam  menghadapi Aus dan Khazraj. Tetapi setelah ternyata tak berhasil  mereka memecah belah kaum Muhajirin dengan kaum Ansar, mulailah  mereka menjalankan tipu muslihat dan memperolok agama. Beberapa  orang Yahudi berkumpul mengerumuni salah seorang dari mereka yang  bernama Finhas. Dia adalah pendeta dan pemuka agama mereka. Ketika Abu Bakar datang dan melihat mereka, ia berkata kepada Finhas ini:  "Finhas, takutlah engkau kepada Allah dan terimalah Islam. Engkau  tahu bukan bahwa Rasulullah SAW Rasulullah. Dia telah datang kepada kita dengan sebenarnya sebagai utusan Allah. Kalian akan melihat itu  dalam Taurat dan Injil."
Dengan berolok dan senyum mengejek di bibir Finhas berkata:
"Abu Bakar, bukan kita yang memerlukan Tuhan, tapi Dia yang  memerlukan kita. Bukan kita yang meminta-minta kepada-Nya,  tetapi  Dia yang meminta-minta kepada kita. Kita tidak  memerlukan-Nya,  tapi Dialah yang memerlukan kita. Kalau Dia  kaya,  tentu tidak akan minta dipinjami harta kita, seperti yang  didakwakan oleh pemimpinmu itu. Ia melarang kalian menjalankan  riba, tapi kita akan diberi jasa. Kalau Ia kaya, tentu Ia tidak akan  menjalankan ini."
Yang dimaksud oleh kata-kata Finhas itu firman Allah:
Siapakah  yang  hendak  meminjamkan  kepada  Allah  pinjaman yang baik, yang akan Ia lipatgandakan dengan sebanyak-banyaknya." (Qur'an, 2. 245).

Setelah Abu Bakar melihat orang ini memperolok firman Allah  serta wahyu-Nya kepada Nabi, ia tak dapat menahan diri, dipukulnya  muka Finhas itu keras-keras seraya katanya:
"Demi Allah,  kalau tidak karena adanya perjanjian  antara kami dengan kamu sekalian, kupukul kepalamu. Engkaulah musuh Tuhan!"
Bukanlah aneh juga Abu Bakar menjadi begitu keras, orang yang begitu tenang, damai dan rendah hati itu. Ia menjadi sedemikian rupa padahal usianya sudah melampaui lima puluh tahun!
Kemarahannya kepada Finhas ini mengingatkan kita kepada  kemarahan yang sama lebih sepuluh tahun yang silam, yaitu ketika  Persia mengalahkan Rumawi, Persia Majusi dan Rumawi Ahli Kitab.  Kaum Muslimin ketika itu merasa sedih karena diejek kaum musyrik  yang menduga bahwa pihak Rumawi kalah karena juga Ahli Kitab  seperti mereka. Ada seorang musyrik menyinggung soal ini di depan  Abu Bakar dengan begitu bersemangat bicaranya, sehingga Abu Bakar  naik pitam. Diajaknya orang itu bertaruh dengan sepuluh ekor unta  bahwa kelak Rumawi yang akan mengalahkan pihak Majusi sebelum  habis tahun itu. Hal ini menunjukkan bahwa Abu Bakar akan sangat  marah jika sudah mengenai akidah dan keimanannya yang begitu  tulus  kepada Allah dan Rasul-Nya. Itulah sikapnya tatkala ia berusia  empat puluh, dan tetap itu juga setelah sekarang usianya lima puluh  tahun sampai kemudian ketika ia sudah menjadi Khalifah dan  memegang pimpinan kaum Muslimin.


Kekuasaan iman pada Abu Bakar

 Keimanan yang tulus inilah yang menguasai Abu Bakar,  menguasai segala perasaannya, sepanjang hidupnya, sejak ia menjadi  pengikut Rasulullah. Orang akan dapat menganalisis segala peristiwa  kejiwaannya dan perbuatannya serta segala tingkah lakunya itu kalau  orang mau melihatnya dari segi moral. Sebaliknya, semua yang di luar  itu, tak ada pengaruhnya dan segala keinginan yang biasa  mempengaruhi hidup manusia, dan banyak juga kaum Muslimin ketika  itu yang terpengaruh, buat dia tak ada artinya. Yang berkuasa terhadap  dirinya — hati nuraninya, pikiran dan jiwanya — semua  hanyalah demi Allah dan Rasul-Nya. Semua itu adalah iman, iman  yang sudah mencapai tingkat tertinggi, tingkat siddiqin, yang sudah  begitu baik tempatnya.
Ketika Rasulullah di Badr
Kemudian kita lihat apa yang terjadi dalam perang Badr. Pihak Mekah sudah menyusun barisan, Nabi pun sudah pula mengatur  kaum Muslimin siap menghadapi perang. Seperti diusulkan oleh Sa'd  bin Mu'az, ketika itu pihak Muslimin membangun sebuah dangau di  barisan belakang, sehingga jika nanti kemenangan berada di pihak  mereka, Rasulullah dapat kembali ke Medinah. Abu Bakar dan Nabi tinggal dalam dangau itu sambil mengawasi jalannya pertempuran. Dan bila pertempuran dimulai dan Rasulullah SAW melihat jumlah pihak musuh yang begitu besar sedang anak buahnya hanya sedikit, ia berpaling ke arah kiblat, menghadapkan diri dengan seluruh hati sanubarinya kepada Allah. Ia mengimbau Tuhan akan segala apa yang telah dijanjikan-Nya. Ia membisikkan permohonan  dalam hatinya agar Allah memberikan pertolongan, sambil katanya:
"Allahumma ya Allah! Inilah Quraisy sekarang datang dengan  segala kecongkakannya, berusaha hendak mendustakan Rasul-Mu. Ya  Allah, pertolongan-Mu juga yang Kaujanjikan kepadaku. Ya Allah,  jika  pasukan ini sekarang binasa tidak lagi ada ibadah kepada-Mu."
Sementara ia masih hanyut dalam doa kepada Tuhan sambil merentangkan tangan menghadap kiblat itu,  mantelnya terjatuh.  Dalam keadaan serupa itu ia terangguk sejenak terbawa kantuk, dan ketika  itu juga tampak olehnya pertolongan Allah itu datang. Ia sadar  kembali, kemudian ia bangun dengan penuh rasa gembira. Ia keluar  menemui sahabat-sahabatnya sambil berkata kepada mereka:
"Demi Dia yang memegang hidup Rasulullah SAW. Setiap seorang  yang sekarang bertempur dengan tabah, bertahan mati-matian, terus  maju dan pantang mundur, lalu ia tewas, maka Allah akan  menempatkannya di dalam surga."

Abu Bakar di Badr

 Demikianlah keadaan Rasulullah. Tidak yakin akan kemenangan anak buahnya yang hanya sedikit itu dalam menghadapi lawan yang iauh lebih banyak, dengan diam-diam jiwanya mengadakan hubungan dengan Allah memohon pertolongan. Kemudian terbuka di  hadapannya tabir hari yang amat menentukan itu dalam sejarah Islam.
Abu Bakar, ia tetap di samping Rasulullah. Dengan penuh iman  ia percaya bahwa Allah pasti akan menolong agama-Nya, dan dengan  hati penuh kepercayaan akan datangnya pertolongan itu, dengan penuh kekaguman akan Rasulullah dalam imbauannya kepada Allah, dengan perasaan terharu kepada Rasulullah karena kekhawatiran yang begitu besar  menghadapi  nasib  yang  akan  terjadi  hari  itu,  ketika  itulah Rasulullah berdoa, mengimbau, bermohon dan meminta kepada Allah akan memenuhi janji-Nya. Itulah yang diulangnya, diulang sekali  lagi, hingga mantelnya terjatuh, Itulah yang membuatnya mengimbau  sambil ia mengembalikan mantel itu ke bahu Nabi: "Rasulullah,  dengan  doamu Allah akan memenuhi apa yang telah dijanjikan-Nya kepadamu."

Kebenaran dan kasih sayang menyatu dalam dirinya
 
Banyak orang yang sudah biasa dengan suatu kepercayaan sudah tak ragu lagi, sampai-sampai ia jadi fanatik dan kaku dengan kepercayaannya itu. Bahkan ada yang sudah tidak tahan lagi melihat muka orang yang berbeda kepercayaan. Mereka menganggap bahwa iman yang sebenarnya harus fanatik, keras, dan tegar. Sebaliknya Abu Bakar, dengan keimanannya yang begitu agung dan begitu teguh, tak pernah  ia goyah dan ragu, jauh dari sikap kasar. Sikapnya lebih lunak, penuh  pemaaf, penuh kasih bila iman itu sudah mendapat kemenangan.  Dengan begitu, dalam hatinya terpadu dua prinsip kemanusiaan yang  paling mendasari: mencintai kebenaran, dan penuh kasih sayang.  Demi  kebenaran itu segalanya bukan apa-apa baginya, terutama  masalah  hidup duniawi.» Apabila kebenaran  itu  sudah dijunjung  tinggi,   maka lahir pula rasa kasih sayang, dan ia akan berpegang teguh  pada prinsip ini seperti pada yang pertama. Terasa lemah ia  menghadapi  semua itu sehingga matanya basah oleh air mata yang deras  mengalir.

Sikapnya terhadap tawanan Badr

Setelah mendapat kemenangan di Badr, kaum Muslimin kembali  ke Medinah dengan membawa tawanan perang Quraisy. Mereka ini  masih ingin hidup, ingin kembali ke Mekah, meskipun dengan  tebusan  yang mahal. Tetapi mereka masih khawatir Rasulullah SAW akan  bersikap keras kepada mereka mengingat gangguan mereka terhadap  sahabat-sahabatnya selama beberapa tahun dahulu yang berada di  tengah-tengah mereka. Mereka berkata satu sama lain: "Sebaiknya kita  mengutus orang kepada Abu Bakar. Ia paling menyukai silaturahmi  dengan Quraisy, paling punya rasa belas kasihan, dan kita tidak  melihat Rasulullah SAW menyukai yang lain lebih dari dia." Mereka lalu  mengirim delegasi kepada Abu Bakar.
"Abu Bakar," kata mereka kemudian, "di antara kita ada yang  masih pernah orangtua, saudara, paman atau mamak kita serta saudara  sepupu kita. Orang yang jauh dari kita pun masih kerabat kita.  Bicarakanlah dengan sahabatmu itu supaya ia bermurah hati kepada  kami atau menerima tebusan kami."
Dalam hal ini Abu Bakar berjanji akan berusaha. Tetapi mereka masih khawatir Umar bin Khattab akan mempersulit urusan mereka ini. Lalu mereka juga bicara dengan Umar seperti pcmbicaraannya dengan Abu Bakar. Tetapi Umar menatap muka mereka dengan mata penuh curiga tanpa memberi jawaban. Kemudian Abu Bakar sendiri yang bertindak sebagai perantara kepada Rasulullah mewakili orang-orang Quraisy musyrik itu. la mcngharapkan belas kasihannya dan sikap yang lebih lunak terhadap  mereka. la menolak alasan-alasan Umar yang mau main keras  terhadap  mereka. Diingatkannya pertalian kerabat antara mereka  dengan  Nabi. Apa yang dilakukannya itu sebenarnya karena memang  sudah bawaannya sebagai orang yang lembut hati, dan kasih sayang  baginya sama dengan keimanannya pada kebenaran dan keadilan.  Barangkali dengan mata hati nuraninya ia melihat peranan kasih  sayang itu juga yang akhirnya akan menang. Manusia akan menuruti  kodrat yang ada dalam dirinya dan dalam keyakinannya sclama ia  melihat sifat kasih sayang itu adalah peri kemanusiaan yang agung,  jauh daii segala sifat lcmah dan hawa nafsu. Yang menggerakkan  hatinya hanyalah kekuatan dan kemampuan. Atau, kekuasaan  manusia  terhadap dirinya ialah kckuasaan yang dapat meredam  bengisnya kekuatan, dapat melunakkan kejamnya kekuasaan.

Sebenarnya Perang Badr itu merupakan permulaan hidup baru  buat kaum Muslimin, juga merupakan permulaan arah baru dalam  hidup Abu Bakar. Kaum Muslimin mulai mengatur siasat dalam  menghadapi Quraisy dan kabilah-kabilah sekitarnya yang melawan  mereka.  Abu Bakar mulai bekerja dengan Nabi dalam mengatur siasat  itu berlipat ganda ketika masih tinggal di Mckah dulu dalam  melindungi kaum Muslimin. Pihak Muslimin semua sudah tahu,  bahwa  Quraisy tidak akan tinggal diam sebelum mereka dapat  membalas dendam kejadian di Badr itu. Juga mereka mengetahui  bahwa dakwah yang baru tumbuh ini perlu sekali mendapat perlindungan  dan perlu mempertahankan diri dari segala scrangan terhadap mereka itu. Jadi harus ada perhitungan,  hams ada pengaturan siasat. Dengan posisinya di samping Rasulullah seperti yang sudah kita lihat, Abu Bakar tak akan dapat bekerja tanpa adanya perhitungaji dan pengaturan serupa itu, supaya jangan timbul kekacauan di dalam kota Medinah atas hasutan pihak Yahudi dan golongan munafik, dan  supaya jangan ada serangan pihak luar ke Madinah.

Abu Bakar dan Umar; pembantu Rasulullah

Kemenangan Muslimin di Badr itu juga sebenarnya telah mengangkat martabat mereka. Inilah yang telah menimbulkan kedengkian  di pihak lawan. Pada pihak Yahudi timbul rasa sakit hati yang  tadinya biasa-biasa saja. Dalam hati kabilah-kabilah di sekitar  Medinah  yang tadinya merasa aman kini timbul rasa khawatir. Tidak  bisa lain, untuk mencegah apa yang mungkin timbul dari mereka itu,  diperlukan suatu siasat yang mantap, suatu perhitungan yang saksama.  Musyawarah yang terus-menerus antara Nabi dengan sahabat-sahabat  telah diadakan. Abu Bakar dan Umar oleh Nabi diambil sebagai  pembantu dekat (wazir) guna mengatur siasat baru, yang sekaligus  merupakan batu penguji mengingat adanya perbedaan watak pada  kedua orang itu, meskipun mereka sama-sama jujur dan ikhlas dalam  bermusyawarah. Di samping dengan mereka ia juga bermusyawarah  dengan kaum Muslimin yang lain. Musyawarah ini memberi pengaruh  besar dalam arti persatuan dan pembagian tanggung jawab demikian,  sehingga masing-masing mereka merasa turut memberikan saham.
Sebagai penangkal akibat dendam kesumat pihak Yahudi itu  kaum Muslimin sekarang mengepung Banu Qainuqa' dan  mengeluarkan  mereka dari  Medinah. Begitu juga akibat rasa  kekhawatiran kabilah-kabilah yang berada di sekeliling Medinah,  mereka berkumpul hendak mengadakan serangan ke dalam kota.  Tetapi begitu mendengar Rasulullah SAW keluar hendak menyongsong  mereka, mereka sudah lari ketakutan.

Dalam perang Uhud

 Berita-berita demikian itu tentu sampai juga ke Mekah, dan ini  tidak menutup pikiran Quraisy hendak membalas dendam atas  kekalahan mereka di Badr itu. Dalam upaya mereka hendak menuntut  balas itu mereka akan berhadapan dengan pihak Muslimin di Uhud.  Di  sinilah terjadi pertempuran hebat. Tetapi hari itu kaum Muslimin  mengalami bencana tatkala pasukan pemanah melanggar perintah Nabi.  Mereka meninggalkan posnya, pergi memperebutkan harta rampasan  perang. Saat itu Khalid bin Walid mengambil kesempatan, Quraisy  segera mengadakan serangan dan kaum Muslimin mengalami  kekacauan. Waktu itulah Nabi terkena lemparan batu yang dilakukan  oleh kaum musyrik. Lemparan itu mengenai pipi dan wajahnya,  sehingga Quraisy berteriakteriak mengatakan Nabi sudah meninggal.  Kalau tidak karena pahlawanpahlawan Islam ketika itu segera  mengelilinginya, dengan mengorbankan diri dan nyawa mereka, tentu  Allah waktu itu sudah akan menentukan nasib lain terhadap mereka.
Sejak itu Abu Bakar lebih sering lagi mendampingi Nabi, baik  dalam peperangan maupun ketika di dalam kota di Medinah.
Orang masih ingat sejarah Muslimin — sampai keadaan jadi  stabil sesudah  pembebasan  Mekah  dan  masuknya Banu  Saqif di   Ta'if ke dalam pangkuan Islam — penuh tantangan berupa  peristiwa-peristiwa perang, atau dalam usaha mencegah perang atau  untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Belum lagi  peristiwa-peristiwa kecil lainnya dalam bentuk ekspedisi-ekspedisi atau  patroli. Waktu itu orang-orang Yahudi — dipimpin oleh Huyai bin  Akhtab — tak henti-hentinya menghasut kaum Muslimin.  Begitu  juga  Quraisy,  mereka berusaha matimatian mau melemahkan dan  menghancurkan kekuatan Islam. Terjadinya perang Banu Nadir,   Khandaq dan Banu Quraizah dan diselang seling dengan  bentrokan-bentrokan lain, semua itu akibat politik Yahudi dan  kedengkian Quraisy.
Dalam semua peristiwa dan kegiatan itu Abu Bakar lebih banyak mendampingi Nabi. Dialah yang paling kuat kepercayaannya pada  ajaran Nabi. Setelah Rasulullah merasa aman melihat ketahanan Medinah, dan tiba waktunya untuk mengarahkan langkah ke arah yang baru — semoga Allah  membukakan jalannya untuk menyempurnakan   agama-Nya — maka peranan yang dipegang Abu Bakar itu telah  menambah keyakinan kaum Muslimin bahwa sesudah Rasulullah,  dialah  orang yang punya tempat dalam hati mereka, orang yang sangat mereka hargai.

Sikapnya di Hudaibiyah

 Enam tahun setelah hijrah kaum Muslimin ke Medinah  Rasulullah SAW mengumumkan kepada orang banyak untuk mengerjakan  ibadah haji ke Mekah. Berita perjalanan jemaah ini sampai juga kepada  Quraisy. Mereka bersumpah tidak akan membiarkan Rasulullah SAW  memasuki Mekah secara paksa. Maka Rasulullah SAW dan para sahabat  pun tinggal di Hudaibiyah, di pinggiran kota Mekah. Ia berpegang  teguh pada perdamaian dan ia menolak setiap usaha yang akan  menimbulkan bentrokan dengan Quraisy. Diumumkannya bahwa  kedatangannya adalah akan menunaikan ibadah haji, bukan untuk  berperang. Kemudian dilakukan tukar-menukar delegasi dengan  pihak  Quraisy, yang berakhir dengan persetujuan, bahwa tahun ini ia harus pulang dan boleh kembali lagi tahun depan.
Kaum Muslimin banyak yang marah, termasuk Umar bin  Khattab, karena harus mengalah dan harus pulang. Mereka  berpendapat,  isi perjanjian ini merendahkan martabat agama mereka.  Tetapi Abu Bakar langsung percaya dan yakin akan kebijaksanaan  Rasulullah. Setelah kemudian turun Surah Fath (48) bahwa persetujuan Hudaibiyah itu  adalah suatu kemenangan yang nyata, dan Abu Bakar dalam hal ini,  seperti juga dalam peristiwa-peristiwa lain, ialah  as-Siddiq,  yang  tulus  hati, yang segera percaya.

Kekuatan Muslimin dan mengalirnya para utusan
 
Integritas dakwah Islam makin hari makin kuat. Kedudukan  Muslimin  di Medinah juga makin  kuat.  Salah  satu  manifestasi   kekuatan mereka, mereka telah mampu mengepung pihak Yahudi di   Khaibar, Fadak dan Taima', dan mereka menyerah pada kekuasaan  Muslimin, sebagai pendahuluan untuk kemudian mereka dikeluarkan  dari tanah Arab. Di samping itu, manifestasi lain kuatnya Muslimin  waktu itu serta tanda kukuhnya dakwah Islam ialah dengan dikirimnya  surat-surat oleh Rasulullah SAW kepada raja-raja dan para amir  (penguasa)  di Persia, Bizantium, Mesir, Hira, Yaman dan  negeri-negeri  Arab di sekitarnya atau yang termasuk amirat-nya..
Adapun gejala yang paling menonjol tentang sempurna dan kuatnya dakwah itu ialah bebasnya Mekah dan pengepungan Ta'if.  Dengan itu cahaya agama yang baru ini sekarang sudah bersinar ke  seluruh Semenanjung, sampai ke perbatasan kedua imperium besar  yang memegang tampuk pimpinan dunia ketika itu: Rumawi dan  Persia. Dengan demikian Rasulullah dan kaum Muslimin sudah merasa  lega atas pertolongan Allah itu, meskipun tetap harus waspada  terhadap  kemungkinan adanya serangan dari pihak-pihak yang ingin  memadamkan cahaya agama yang baru ini.

Bersinarnya cahaya Islam

 Setelah orang-orang Arab melihat adanya kekuatan  ini delegasi mereka datang berturut-turut dari segenap Semenanjung, menyatakan keimanannya pada agama baru ini. Bukankah pembawa dakwah ini pada mulanya hanya seorang diri?! Sekarang ia sudah dapat  mengalahkan Yahudi, Nasrani, Majusi dan kaum musyrik. Bukankah  hanya kebenaran yang akan mendapat kemenangan? Adakah tanda  yang lebih jelas bahwa memang dakwahnya itulah yang benar, yang mutlak mendapat kemenangan atas mereka semua itu? Ia tidak  bermaksud menguasai mereka. Yang dimintanya hanyalah beriman  kepada Allah, dan berbuat segala yang baik. Inilah logika yang amat  manusiawi, diakui oleh umat manusia pada setiap zaman dan mereka  beriman di mana pun mereka berada. Ini juga logika yang diakui oleh  akal pikiran manusia. Kekuatan argumentasinya yang tak dapat  dikalahkan itu sudah dibuktikan oleh sejarah.

Abu Bakar memimpin jamaah haji

Allah telah  mengizinkan kaum Muslimin melengkapi kewajiban agamanya,  dan  ibadah  haji  itulah  kelengkapannya.  Oleh  karena  itu dengan adanya delegasi yang berturut-turut itu tidak  memungkinkan Rasulullah meninggalkan Medinah pergi ke Baitullah.  Maka dimintanya Abu Bakar memimpin jamaah pergi menunaikan  ibadah  haji. la berangkat bersama tiga ratus orang. Mereka  melaksanakan ibadah itu, melaksanakan tawaf dan sai. Dalam musim  haji inilah Ali bin Abi Talib mengumumkan — sumber lain   menyebutkan  Abu  Bakar yang mengumumkan — bahwa sesudah  tahun  itu tak boleh lagi kaum musyrik ikut berhaji. Kemudian orang  menunda empat bulan lagi supaya setiap golongan dapat kembali ke tempat tinggal dan negeri masing-masing. Sejak hari itu, sampai sekarang, dan sampai waktu yang  dikehendaki Allah, tak akan ada lagi orang musyrik pergi berhaji  ke  Baitullah, dan tidak akan ada.

Tahun kesepuluh Hijri Rasulullah melaksanakan ibadah haji perpisahan. Abu Bakar juga ikut serta. Rasulullah  Sallallahu  'alaihi wasallam berangkat bersama semua istrinya, yang juga diikuti oleh  seratus ribu orang Arab atau lebih. Sepulang dari melaksanakan  ibadah  haji, Nabi tidak lama lagi tinggal di Medinah. Ketika itu  dikeluarkannya perintah supaya satu pasukan besar disiapkan  berangkat ke Syam, terdiri dari kaum Muhajirin yang mula-mula,  termasuk Abu Bakar dan Umar. Pasukan itu sudah bermarkas di Jurf  (tidak jauh dari Medinah) tatkala tersiar berita, bahwa Rasulullah jatuh  sakit. Perjalanan itu tidak diteruskan dan karena sakit Rasulullah  bertambah keras, orang makin cemas.

Abu Bakar memimpin salat

Karena sakit bertambah berat juga maka Nabi meminta Abu Bakar memimpin sembahyang. Disebutkan bahwa Aisyah pernah  mengatakan: "Setelah sakit Rasulullah  Sallallahu  'alaihi wasallam  semakin berat Bilal datang mengajak bersembayang: 'Suruh Abu Bakar  memimpin salat!' Kataku: Rasulullah, Abu Bakar cepat terharu dan  mudah menangis. Kalau dia menggantikanmu suaranya tak akan  terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Katanya:  'Suruh Abu Bakar memimpin sembahyang!' Lalu kataku kepada  Hafsah: Beritahukanlah kepadanya bahwa Abu  Bakar orang  yang   cepat terharu dan  kalau  dia menggantikanmu suaranya tak akan  terdengar. Bagaimana kalau perintahkan kepada Umar saja! Usul itu  disampaikan oleh Hafsah. Tetapi kata Nabi lagi: Kamu seperti perempuan-perempuan yang di  sekeliling Yusuf. Suruhlah Abu Bakar memimpin sembahyang. Kemudian  kata Hafsah kepada Aisyah: Usahaku tidak lebih baik dari yang  kaulakukan."

Sekarang Abu Bakar bertindak memimpin salat sesuai dengan perintah Nabi. Suatu hari, karena Abu Bakar tidak ada di tempat ketika oleh Bilal dipanggil hendak bersembahyang, maka Umar yang  diminta mengimami salat. Suara Umar cukup lantang, sehingga ketika  mengucapkan takbir di mesjid terdengar oleh Rasulullah SAW dari rumah  Aisyah, maka katanya:
"Mana Abu Bakar? Allah dan kaum Muslimin tidak menghendaki yang demikian."
Dengan itu orang menduga, bahwa Nabi menghendaki Abu Bakar sebagai penggantinya kelak, karena memimpin orang-orang salat merupakan tanda pertama untuk menggantikan kedudukan Rasulullah.
Sementara masih dalam sakitnya itu suatu hari Rasulullah SAW  keluar ke tengah-tengah kaum Muslimin di mesjid, dan antara lain ia  berkata:
"Seorang hamba oleh Allah disuruh memilih tinggal di dunia ini atau di sisi-Nya, maka ia memilih berada di sisi Allah." Kemudian diam. Abu Bakar segera mengerti, bahwa yang dimaksud oleh Nabi  dirinya. Ia tak dapat menahan air mata dan ia menangis, seraya katanya:
"Kami akan menebus Tuan dengan jiwa kami dan anak-anak kami." Setelah itu Rasulullah SAW minta semua pintu mesjid ditutup kecuali pintu yang ke tempat Abu Bakar. Kemudian katanya sambil menunjuk kepada Abu Bakar: "Aku belum tahu ada orang yang lebih bermurah hati dalam bersahabat dengan aku seperti dia. Kalau ada dari hamba Allah yang akan kuambil sebagai khalil (teman) maka Abu Bakar-lah khalil-ku. Tetapi persahabatan dan persaudaraan ini dalam iman, sampai tiba saatnya Allah mempertemukan kita di sisi-Nya."
Pada hari ketika ajal Nabi tiba ia keluar waktu subuh ke mesjid sambil bertopang kepada Ali bin Abi Talib dan Fadl bin al-Abbas.  Abu Bakar waktu itu sedang mengimami orang-orang bersembahyang.  Ketika kaum Muslimin melihat kehadiran Nabi, mereka bergembira  luar biasa. Tetapi Nabi memberi isyarat supaya mereka meneruskan  salat. Abu Bakar merasa bahwa mereka berlaku demikian karena ada  Rasulullah. Abu Bakar surut dari tempatnya. Tetapi Nabi memberi  isyarat agar diteruskan. Lalu Rasulullah duduk di sebelah Abu Bakar,  salat sambil duduk.
Lepas salat Nabi kembali ke rumah Aisyah. Tetapi tak lama kemudian demamnya kambuh lagi. Ia minta dibawakan sebuah  bejana berisi air dingin. Diletakkannya tangannya ke dalam bejana itu  dan dengan begini ia mengusap air ke wajahnya. Tak lama kemudian ia telah  kembali kepada Zat Maha Tinggi, kembali ke sisi Allah.
Rasulullah telah meninggalkan dunia kita setelah Allah menyempurnakan agama ini bagi umat manusia, dan melengkapi kenikmatan hidup bagi mereka. Apa pulakah yang dilakukan orang-orang Arab  itu kemudian? Ia tidak meninggalkan seorang pengganti, juga tidak  membuat suatu sistem hukum negara yang terinci. Hendaklah  mereka  berusaha (berijtihad) sendiri. Setiap orang yang berijtihad  akan mendapat bagian.

sumber :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar